Tekanan Pernikahan: Antara Cinta, Takut, dan Harapan

 

Tekanan Pernikahan

Terkadang, cinta tidak selalu berjalan sesuai dengan harapan. Di saat pacar saya semakin sering menanyakan tentang pernikahan, saya justru semakin ragu. Bukan karena saya tidak mencintainya, tetapi karena ada satu hal yang membuat saya merasa begitu kecil di hadapannya—keadaan finansial saya yang belum stabil. Saya hanya bekerja serabutan, penghasilan saya pas-pasan, dan itu pun tak selalu datang secara rutin. Sementara dia, dengan pekerjaannya yang stabil, sepertinya siap untuk melangkah ke tahap hidup yang lebih serius.


Setiap kali dia menyinggung soal pernikahan, hati saya seperti terhimpit. Sejujurnya, saya merasa takut. Bukan hanya soal cinta yang bisa saja hilang jika saya tidak segera memberikan kepastian, tapi lebih kepada ketakutan bahwa saya tidak mampu memenuhi semua ekspektasinya. Saya tahu pernikahan itu bukan hanya soal kami berdua. Ini juga soal dua keluarga, dua ekspektasi, dua harapan yang tak selalu bisa disatukan dengan mudah. Ada ego masing-masing yang harus dipertemukan, ada standar-standar tertentu yang mungkin tak bisa dihindari.


Saya sering kali terjebak dalam pikiran ini: mungkin, atas nama cinta, saya dan dia bisa berkompromi soal pernikahan sederhana. Mungkin dia tidak akan keberatan jika kami menikah tanpa pesta besar, tanpa glamor, hanya dengan keluarga terdekat dan sahabat. Namun, itu pun tidak semudah yang dibayangkan. Pernikahan adalah lebih dari sekadar upacara. Pernikahan adalah tentang menjalani hidup bersama, menghadapi tantangan, terutama tantangan finansial. Dan di sinilah letak kekhawatiran terbesar saya.


Saya tahu, meskipun dia tidak pernah menuntut apa pun secara langsung, ada ekspektasi dari pihak keluarga. Saya takut tidak mampu memberikan yang terbaik untuknya. Saya takut bahwa dengan kondisi saya yang sekarang, saya justru akan menjadi beban, bukan pasangan yang bisa dia banggakan. Sebagai lelaki, ada harga diri yang dipertaruhkan. Saya ingin memberinya kehidupan yang layak, tapi saya tidak yakin bisa melakukannya dengan situasi saat ini. Setiap kali membayangkan pesta pernikahan, saya langsung teringat dengan tagihan yang akan membengkak, dengan semua biaya yang harus ditanggung. Dari mas kawin hingga resepsi, semuanya membutuhkan uang—sesuatu yang saat ini terasa begitu sulit untuk saya kumpulkan.


Di sisi lain, saya melihat betapa dia pantas mendapatkan yang lebih baik. Dia adalah perempuan yang cerdas, mandiri, dan pekerja keras. Saya yakin, dengan semua kualitas yang dia miliki, banyak pria yang akan menginginkannya. Mereka yang lebih mapan, yang bisa memberikan stabilitas yang selama ini dia cari. Saya tidak bisa memungkiri, kadang pikiran itu muncul—pikiran bahwa mungkin lebih baik saya melepaskannya, memberinya kesempatan untuk menemukan pria yang lebih baik dari saya. Seorang pria yang bisa memberinya kehidupan yang lebih terjamin, yang tidak perlu khawatir tentang uang atau masa depan.


Namun, setiap kali pikiran itu datang, hati saya terasa hancur. Saya tidak bisa membayangkan hidup tanpa dia. Dia adalah orang yang selalu ada di samping saya, mendukung saya dalam segala hal. Saya takut, jika saya membiarkannya pergi, saya akan kehilangan satu-satunya orang yang benar-benar peduli pada saya. Tapi di sisi lain, saya tidak ingin menahannya hanya karena ego saya. Saya ingin yang terbaik untuknya, meskipun mungkin itu berarti melepaskannya.


Pernikahan, bagi saya, bukan sekadar ikatan suci di depan penghulu. Ini adalah perjalanan panjang yang akan kami lalui bersama. Namun, bagaimana jika saya tidak siap untuk perjalanan itu? Bagaimana jika saya tidak cukup kuat untuk menghadapi semua tantangan yang akan datang? Saya tahu cinta adalah tentang perjuangan, tentang dua orang yang saling mendukung dan bertahan di tengah badai. Tapi pertanyaan yang selalu menghantui saya adalah: apakah saya cukup untuknya? Apakah saya bisa menjadi pasangan yang dia banggakan, bukan hanya beban yang harus dia tanggung?


Saya sering merasa bahwa perjuangan ini terlalu berat. Ada begitu banyak hal yang harus dipikirkan—dari pernikahan itu sendiri hingga kehidupan setelahnya. Saya takut kami akan terjebak dalam masalah keuangan yang tiada habisnya, dan pernikahan yang seharusnya menjadi kebahagiaan malah berubah menjadi beban. Saya tahu bahwa dalam banyak hal, dia siap untuk menikah. Tapi saya? Saya merasa masih jauh dari kata siap.


Saya ingin memberikan yang terbaik untuknya, tetapi dengan keadaan saya yang sekarang, itu terasa hampir mustahil. Setiap hari, pikiran tentang melepaskannya semakin kuat. Bukan karena saya tidak ingin bersamanya, tetapi justru karena saya ingin dia bahagia. Jika kebahagiaan itu berarti saya harus mundur, mungkin itulah yang harus saya lakukan. Namun, perasaan cinta ini tidak mudah diabaikan. Setiap kali saya memikirkan untuk melepaskannya, saya selalu kembali pada kenyataan bahwa dia adalah orang yang paling saya cintai. Dan kehilangan dia akan terasa seperti kehilangan bagian terbesar dari hidup saya.


Mungkin, pada akhirnya, ini bukan tentang siapa yang lebih layak atau siapa yang lebih baik. Mungkin ini tentang bagaimana kami bisa saling mendukung dan menemukan jalan keluar bersama. Jika dia benar-benar mencintai saya, mungkin dia bisa menerima keadaan saya yang belum sempurna ini. Tapi, apakah adil jika saya membiarkannya menanggung semua ini? Apakah adil jika saya menyeretnya ke dalam kehidupan yang penuh ketidakpastian hanya karena saya mencintainya?


Saya tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Tapi satu hal yang saya tahu pasti, saya mencintainya lebih dari apa pun. Dan jika cinta itu cukup kuat, mungkin kami bisa melewati semua ini bersama. Namun, jika pada akhirnya saya memutuskan untuk melepaskannya, itu bukan karena saya berhenti mencintainya. Itu karena saya ingin yang terbaik untuknya, meskipun yang terbaik itu mungkin bukan saya.


Hingga saat itu tiba, saya akan terus berjuang. Berjuang melawan ketakutan, ketidakpastian, dan rasa tidak cukup yang selama ini menghantui saya. Saya akan terus berusaha menjadi pria yang lebih baik, pria yang bisa dia banggakan. Tapi, jika perjuangan ini akhirnya membuat saya harus melepaskannya, saya akan melakukannya dengan hati yang berat, tetapi penuh dengan harapan bahwa suatu hari, dia akan menemukan kebahagiaan yang dia pantas dapatkan. https://www.haris.eu.org/

Previous Post